Rabu, 18 November 2009

HIKMAH

Manusia hidup dengan berfikir.
Hal yang layak untuk dipertahankan hingga meninggal.
Hanya itulah yang akan dikenang masa dan orang yang akan datang.


Selain itu berfikir adalah ciri yang diberikan pada manusia.
Berfikir tentang diri sendiri, tidak menjadi hal yang diperhitungkan.
Hal ini untuk mengetahui kita layak atau tidaknya untuk dikenang.


Namun kalau hanya pemikiran saja, sungguh tak layak dijadikan orang yang patut dijadikan panutan sejati.
Maka jangan hanya berfikir.
TApi Bertindak.

MAka akan dikenang perjuanganmu.

Kamis, 05 November 2009

IDEA

Tantangan

Manusia hidup tanpa tantangan. Ibarat masak tanpa ada garamnya. CEMPLANG. Kurang terasa.
Dengan berpangku tangan. Tanpa ada kekuatan untuk menggerakkan pemikiran dan kemauan. Kapan kita akan maju.
Walau menanggung segala resiko. Semua pekerjaan harus dilakukan dahulu. Jangan pesimis. Dengan kekuatan maksimal tentunya.
Segala pemikiran material atau non material harus dikerahkan.
Itu yang terpenting.
Jangan menjadi putus asa sebelum melakukan hal itu.


God Bless to Us.
Amen…3x

Jumat, 16 Oktober 2009

Foto



Saat survei dari Perpusda Jawa Tengah



Social

Belajar Membaca

Bertempat di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) “Bina Karya”, Taman Bacaan Masyarakat “Ngudi Kaweruh” sebagai tempat ajang untuk menuntaskan hasrat menimba ilmu. Bebagai kalangan menyempatkan diri untuk membaca. Mulai dari anak-anak hingga mereka para pegawai.

Namun, kendala yang dihadapi adalah bagaimana menjaga agar tetap dijadikan rujukan oleh pengunjung. Fasilitas yang dimilii adalah ruangan berukuran 4 x 9 meter. Seharusnya dapat menampung ratusan judul buku. Banyak buku terbitan tahun lama tersedia. Inilah yang menjadikan minat pengunjung.

Kendati demikian, pemuda sekitar berusaha untuk menghidupkan “Ngudi Kaweruh”tersebut. Dengan sekadar mengikuti lomba perpustakaan se-Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Perpusda (Perpustakaan) Jawa Tengah. Sebagai perpustakaan yang berhak mengikuti lomba tentu dengan seleksi dari tingkat kabupaten Pati terlebih dahulu. Sebagai pustakawan amatiran tentu mereka belum layak mendapatkan predikat juara untuk selevel Jawa Tengah.

Akhirnya, lomba itu mengujungkan hasil, satu kardus buku bantuan yang dikirimkan oleh Perpusda Jawa Tengah membuat bangga pustawakan amatiran ini. Mereka bersemangat untuk tetap melanjutkan tindakan yang mereka anggap mencerdaskan bangsa itu. Hal inilah yang menjadi kebanggaan saya sebagai warga kecamatan Wedarijaksa.

Tak berakhir itu saja berbagai elemen masyarakat masih tetap membaca berbagai keadaan yang ada untuk mendapatkan Taman Bacaan Masyarakt “Ngudi Kaweruh” yang masyarakat dambakan.


(Penulis adalah mantan sukarelawan pustakawan di “Ngudi Kaweruh” tahun 2006-2008)

THINKER I

Pemimpin Gagap

Kebijaksanaan dan peraturan yang dibuat seseorang haruslah mengakomodasi seluruh kepentingan organisasi yang dipimpin. Sekalipun itu menjadikan dirinya terpojokkan.

Berkempuan untuk menjalankan roda organisasinya merupakan hal yang harus dikuasainya. Kemampuan mengalisa masalah yang terjadi dalam anggotanya. Jangan sampai mengulangi apa yang telah terjadi pada kepemimpinan sebelumnya.

Bila seorang pemimpin tak kuat untuk menahkodai kapal perkumpulan yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya. Ia dapat meminta bantuan orang lain atau anggota lain untuk membantu meringankan beban berat yang dipikulnya.

Tak hanya itu saja. Apabila ia tidak sanggup menjalankan roda kepemimpinannya dengan baik. Ia cukup berdiam diri layaknya raja dalam permainan catur. Cukup berdiam diri menemani sang ratu yang tak mempunyai kekuatan. Hanya sebagai hal yang dipertahankan saja.

Dengan mengandalkan prajurit dan bidak catur yang lain serta kroco-kroco. Itu lebih baik dari pada ia harus menyerang ke daerah lawan yang ia tak tahu medannya.

Demikian pula ia akan merasa lebih aman dari pada harus menanggung segala sesuatu yang tak dapat ia tanggulangi dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya.


(Penulis adalah Kru magang LPM IDEA _Refleksi Sebuah Perenungan_)

Sabtu, 03 Oktober 2009

beduk























MASJID DARUL MUTTAQIN PURWOREJO

Beduk Pendowo Purworejo

Oleh: Mukhamad Zulfa*

Masjid merupakan tempat suci bagi umat Islam. Sebagai tempat melaksanakan shalat, i'tikaf, memecahkan masalah keagamaan dan acara keagamaan lainnya. Beduk sebagai penanda masuk waktu shalat maktubah dan hari raya menjadi salah satu ciri masjid yang ada di Indonesia. Walau ada kentongan di sebagian masjid. Beduk tetap menjadi favorit di berbagai tempat. Dan kadang beduk juga bersandingan dengan kentongan.

Masjid Istiqlal yang menjadi pusat perhatian masyarakat dikatakan sebagai beduk terbesar di Indonesia. Terbuat dari kayu jenis Meranti Merah dari Kalimantan Timur dengan usia pohonnya kurang lebih 300 tahun. Dengan jagrak atau penyangga beduk setinggi 380 cm, panjang 345 cm, lebar 340 cm, jenis kayu jati dan ukiran dari Jepara. Hal inilah yang menjadi salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh beduk Istiqlal. Tak hanya itu ukuran garis tengah beduk bagian depan sebesar 200 cm dan belakang 1,71 cm. Bahan yang dipakai untuk menutupi beduk bagian depannya dibuat dari kulit sapi jantan bagian depan dan sapi betina di bagian belakangnya. Dengan panjang gelondongan sepanjang 3 m dan berat 2.300 kg.

Namun, yang hal yang patut menjadi kebanggaan lainnya adalah beduk Pendowo. merupakan beduk terbesar di dunia, terletak di masjid Darul Muttaqin Purworejo. Beduk ini dibuat pada tahun1834 Masehi atau sekitar tahun 1762 Jawa.

Konsep yang digunakan model lama, paku kayu yang mengukuhkan bagian depan berjumlah 120 buah dan bagian belakang 98 buah. Beduk yang telah berumur 175 tahun ini memiliki garis tengah depan 194 cm dengan keliling 601 cm dan bagian belakang 180 cm dengan keliling 564 cm dengan panjang beduk 292 cm hanya terpaut sedikit dengan beduk Istiqlal.

Bahan yang digunakan membuat beduk ini adalah satu buah gelondong pohon jati bercabang lima (pendowo) dari dukuh Pendowo desa Bragolan Purwodadi. Beduk ini hanya dipergunakan pada hari Jumat dan hari-hari besar saja. Untuk menjaga keawetan beduk yang berbahan kayu jati yang telah berusia kurang lebih tiga ratus tahun yang lalu.

Dan tak kalah menariknya adalah kulit beduk yang digunakan adalah kulit banteng ketika pertama kali dalam pembuatannya. Beduk ini juga dikenal dengan beduk Kyai Bagelen.

* (Penulis adalah keturunan Purworejo)